Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA) bermula dari tukar pengalaman dan gagasan para petani dari berbagai daerah di Desa Garongan kecamatan Panjatan kabupaten Kulon Progo pada tanggal 20-21 Desember 2011. Kelompok-kelompok pembentuknya adalah 10 komunitas dari berbagai tempat di Pulau Jawa. Mereka adalah: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Pati, Forum Silaturahmi Warga Wotgalih (FOSWOT) Lumajang, Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS)Kebumen, Serikat Tani Merdeka (SeTAM) Cilacap, Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, Solidaritas Masyarakat Desa (SITAS DESA) Blitar, Lembaga Petani Masyarakat Banten (LPMB) Banten,Bale RUHAYAT Tasikmalaya dan Ciamis, Forum Warga Cilacap, Korban Lumpur Lapindo Sidoarjo. Mulanya forum ini diinisiasi oleh PPLP Kulonprogo yang mengundang beberapa kelompok tani untuk mendiskusikan permasalahan yang sama-sama mereka rasakan yaitu perampasan tanah. Dalam pertemuan itu, mereka menghasilkan deklarasi yang terdiri dari lima poin sebagai berikut
[1]:
1. Siap melawan ketidakadilan yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan negara-korporasi,
2. Siap mempertahankan hak rakyat atas tanah karena tanah adalah ruang hidup dan sumber penghidupan tak tergantikan,
3. Siap melawan pelaku kejahatan perundang-undangan yang menjadikan hukum sebagai alat dan pembenaran bagi penghancuran tatanan sosial; tatanan ekonomi; tatanan kebudayaan dan lingkungan masyarakat,
4. Menyerukan pada aparat negara untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, represi, dan kriminalisasi atas petani dan masyarakat yang mempertahankan haknya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di Republik Indonesia, karena aparat negara adalah pelayan rakyat bukan pelayan pemodal,
5. Menyerukan solidaritas, dukungan moral, dan semangat perjuangan kepada saudara-saudara senasib sepenanggungan baik itu di Mesuji Lampung, Takalar Sulawesi Selatan, Persil IV Sumatera Utara, Pesisir Kulon Progo Jogjakarta, Pesisir Kebumen Jawa Tengah, Korban Lumpur LAPINDO Porong Jawa Timur, Kaum Tani di Pandarincang Banten Jawa Barat, Sedulur SIKEP di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah, Pesisir Wotgalih Lumajang Jawa Timur, Pesisir Kalipucang dan Cimerak Ciamis Jawa Barat, dan di tempat-tempat lain yang tengah berhadapan dengan kejahatan korporasi.
Deklarasi itu menjelaskan bagaimana FKMA memandang pemerintah dan korporasi saling berkolaborasi dalam merampas hak-hak rakyat (Khususnya petani) atas tanah sebagai obyek penghidupan yang vital. Ini semakin tergambar dalam Term Of Reference (TOR) undangan pertemuan II FKMA. Disitu tertulis “Atas nama pembangunan, negara dan perusahaan semakin gencar mengambil alih tanah petani”. Artinya, dalam cara pandang petani FKMA, Negara adalah musuh karena bersama-sama dengan korporasi telah menekan hak hidup para petani. Mereka menyoroti adanya aturan-aturan perundangan yang dibuat oleh pemerintah yang muatannya justru semakin menekan perjuangan petani diantaranya:
1. UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan ini dinilai berpotensi merampas tanah rakyat demi investasi. Seharusnya pengadaan tanah dilakukan rangka redistribusi tanah bagi petani gurem, buruh-tani atau petani penggarap dan rakyat yang tidak memiliki tanah, bukan demi investasi yang hanya menguntungkan pemodal besar. Terkait UU ini, sebenarnya sudah pernah ada upaya permohonan dilakukannyaJudicial Review di MK oleh beberapa aktivis.[2]
2. UU No 7 Tahun 2011 tentang Penanganan Konflik Sosial. Definisi Konflik Sosial dalam UU ini dinilai multitafsir dan membuka peluang bagi penafsiran subjektif. Pada akhirnya penafsiran subjektif tersebut bisa digunakan untuk menekan gerakan-gerakan petani yang melakukan reklaiming tanah. Gerakan-gerakan tani itu bisa dianggap sebagai bagian dari anasir palaku kerusuhan.[3]
3. UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini dinilai meminggirkan hak-hak rakyat di sekitar areal pertambangan sekaligus berpotensi merusak lingkungan. Masyarakat yang melakukan penambangan rakyat dianggap ilegal oleh perusahaan tambang besar yang mendapat ijin dari pemerintah, seringkali menerima perlakuan intimidatif untuk meninggalkan areal tambang. Pertambangan skala besar juga dianggap memiliki tingkat potensi destruksi yang lebih besar dari pertambangan rakyat. Penyusunan UU inipun mengabaikan aspek representasi dan partisipasi rakyat.[4]
4. UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara. Beberapa pasal di dalam UU ini melahirkan sejumlah definisi mengenai ancaman, keamanan, kepentingan nasional, dan pihak lawan. Pada akhirnya potensial disalahgunakan oleh intelijen negara maupun kepentingan kekuasaan untuk melakukan tindakan represif terhadap warga negara, termasuk gerakan gerakan tani.[5]
5. RUU Keamanan Nasional. UU ini juga berpotensi mengebiri tindakan kritis masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Salah satu klausulnya menyatakan bahwa kegiatan mogok nasional merupakan salah satu ancaman keamanan negara. Aksi mogok yang dilakukan oleh serikat buruh atau gerakan tani bisa dianggap sebagai ancaman besar bagi negara. Atas nama stabilitas dan kemanan, gerakan-gerakan masyarakat sipil termasuk petani bisa direpresi.[6]
6. PP No 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Pelaksanaan PP ini dinilai terlalu sering menguntungkan investor tetapi meminggirkan hak-hak rakyat terutama dalam hal pengadaan tanahnya yang seringkali dilakukan dengan cara intimidatif dan kekerasan. MP3EI juga dinilai tidak berwawasan lingkungan.[7] MP3EI juga dituding sebagai bagian dari liberalisasi perdagangan yang hanya ramah terhadap perusahaan asing bermodal besar di Indonesia.[8]
Dari organisasi lain, timbul pandangan serupa. Apa yang dikaji oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam laporan akhir tahunnya menyebutkan bahwa ada begitu banyak peraturan yang berpotensi menciptakan pelanggaran bagi petani di antaranya adalah: UU Perkebunan No. 18/2004, UU Kehutanan No.41/1999, UU Sumber Daya Air No. 7/2004, UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) No.4/2009, UU Pengadaan Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum No.2/2012 dan UU Pangan No.18/2012. Selain itu, beberapa kebijakan pemerintaha seperti liberalisasi sektor pangan (Beras, jagung, kedelai, bawang merah, garam, ikan, dan daging sapi) membahayakan nasib petani.[9]Sekilas juga disinggung mengenai kecurigaan SPI terhadap moratorium hutan yang diinisisasi oleh World Bank dalam bentuk program Reducing Emissions From Deforestation and forest Degradation(REDD).[10]
Kalau memang benar apa yang dirasakan oleh petani-petani FKMA dan SPI itu maka timbul pertanyaan: Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa Pemerintah yang seharusnya melindungi rakyatnya justru memposisikan diri sebagai pengaman kepentingan korporasi? Untuk menjawab hal itu, ada baiknya kita melakukan kilas balik sejenak.
Ada periode dimana Pemerintah Indonesia menyadari bahwa tanah adalah hal yang krusial bagi penghidupan manusia sehingga harus didistribusikan secara adil. “Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak. Pemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang dimana terdapat jumlah penggarap yang besar, adalah bertentangan dengan dasar perekonomian yang adil”.[11] Maka pada umur pemerintahan yang masih sangat muda (tahun 1946), pemerintah melakukan “land reform” dalam sekala terbatas, misalnya seperti yang terjadi di Banyumas dengan cara menghapuskan hak-hak istimewa kaum elit desa perdikan atas tanah. Setengah tanah kekuasaan mereka dipotong untuk didistribusikan kepada petani yang tidak punya tanah.[12] Disetujuinya Konferensi Meja Bundar (KMB) sempat membuat mundur agenda land reformkarena salah satu klausulnya adalah mengakui bahwa bekas tanah-tanah Perkebunan Belanda (yang sebagian sudah digarap rakyat) harus dikembalikan ke pengusaha.[13] Namun ekses KMB itu tidak berlangsung terkait dinamika politik yang menyusulnya (Dekrit Presiden 1959, dan permasalahan sengketa Irian Barat yang direspon oleh pemerintah RI dengan nasionalisasi aset-aset asing). Bahkan pada tahun 1958, muncul UU No 1/1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir.
Periode pemerintahan Bung Karno melahirkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria, disingkat UUPA). Orientasi pemerintah Soekarno pada periode itu cukup jelas dimana redistribusi tanah secara adil harus dilakukan agar kesejahteraan rakyat bisa terwujud secara merata. Ini sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk mengelola bumi, air, udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sayang sekali, periode pemerintahan Orde Baru membalik orientasi ini 180 derajat menjadi pro pasar dengan kebijakannya yang kapitalistik, menyandarkan pembangunan pada investasi.
Pembalikan orientasi kebijakan agraria ini berarti mengembalikan pola kolonial dalam pengelolaan tanah. Agrarische Wet 1870 yang membuka pintu bagi swasta untuk berinvestasi mengolah tanah-tanah perkebunan sangat merugikan para petani. Peraturan ini muncul ketika pola kepemilikan tanah di Indonesia masih bersifat feodal. Artinya, para penguasaha swasta perkebunan hanya perlu berhubungan dengan penguasa feodal (bukan dengan para petani penggarap) untuk menyewa tanah yang dalam prakteknya bisa mepunyai ijin kelola selama 75 tahun.[14] Sejak zaman kolonial ini struktur perkebunan swasta tak pernah diretribusi secara tuntas ke masyarakat. Selain itu, di masyarakat terjadi perampasan alat produksi pokok berupa lahan garapan bagi petani. Dari kenyataan inilah, UUPA dibentuk sebagai antitesis untuk mengakhiri pola feodal, sekaligus pola kolonial dalam pemanfaatan tanah. Ironisnya, beberapa peraturan perundangan yang muncul ketika Orde Baru lahir malah mengembalikan pola feodal-kolonial.
Kita harus menyadari bahwa banyak UU yang keluar pasca jatuhnya pemerintahan Soekarno, substansinya bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam UUPA. Ini menyebabkan tumpang tindih peraturan hukum sekaligus menjadi momentum kembalinya liberalisasi sistem pengelolaan/penguasaan tanah. Pada tahun 1967 saja terbit tiga aturan yang jelas-jelas mengabaikan UUPA yaitu UU Penanaman Modal Asing (PMA), UU Pokok Pertambangan, dan UU Pokok Kehutanan.[15] Periode Orde Baru berjalan bersamaan dengan gencarnya kampanye program revolusi hijau yang melanda Asia dimana peningkatan produksi pangan dianggap lebih penting daripada redistribusi kepemilikan tanah. Akibatnya jargon swasembada pangan dipacu dengan cara mekanisasi dan program-program lain semacam intensifikasi yang seringkali justru semakin meminggirkan nasib petani.[16]
UUPA dianggap sebagai produk PKI sehingga ditinggalkan (namun untungnya tidak dicabut)[17]. Baru pada tahun 1978 berdasar hasil penelitian Panitia khusus (yang dipimpin Soemitro Djojohadikusumo) UUPA dikukuhkan kembali dan dianggap bukan merupakan produk PKI. Meskipun begitu, pelaksanaanya minim. Ada dugaan bahwa pengukuhan kembali itu berkaitan dengan undangan konferensi FAO kepada delegasi Indonesia untuk hadir dalam konferensi internasional di Roma. Salah satu poin pertemuan FAO di Roma tahun 1979 adalah tiap negara harus melaporkan perkembangan reforma agrarianya setiap 2 tahun. Pada pertemuan selanjtnya di Selabintana (Indonesia menjadi tuan rumah), rekomendasi yang dihasilkan adalah mendorong reforma agraria. Namun ternyata putusan di Roma maupun di Selabintana tidak mampu mendorong pemerintah Orba untuk kembali kepada substansi UUPA. Meskipun UUPA sudah dikukuhkan kembali, namun terlanjur banyak UU baru yang bersifat sektoral, yang substansinya tidak sesuai dengan UUPA.
Program sertifikasi tanah pada masa pemerintahan Orde Baru oleh Gunawan Wiradi dipandang bukan sebagai usaha memberikan kejelasan status tanah semata, namun dibalik itu adalah agenda menciptakan pasar tanah untuk mendukung operasionalisasi modal asing yang masuk.[18] Kondisi itu berlanjut ketika pasca Orde Baru, muncul UU Otda yang menambah rumit permasalahan akibat semakin banyak pihak yang bersengketa tentang wewenang pengaturan atas tanah. Sengketa itu melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan beberapa instansi seperti Bappenas, Kementerian sektoral yang terkait tanah, maupun instansi Pemerintah Daerah. Permasalahan tumpang tindih UUPA dengan beberapa UU Sektoral yang lahir sesudahnya tentu membuat rumit persoalan pertanahan di Indonesia.
Dari sekilas tinjauan sejarah itu (periode Pemerintahan Bung Karno s/d Orde Baru) kita dapat melihat bahwa sebenarnya permasalahan redistribusi tanah sempat menjadi prioritas pokok bagi pemerintah, namun tidak dilanjutkan (bahkan dijungkirbalikkan) oleh pemerintahan periode selanjutnya. Itulah yang menyebabkan sampai saat ini masih sangat banyak tuntutan redistribusi tanah, bahkan jumlahnya ratusan/ribuan dalam bentuk eskalasi konflik agraria yang terus meningkat dan seringkali memakan korban. Dalam merespon tuntutan itu, pemerintah seringkali tidak berposisi sebagai pelindung rakyatnya sendiri. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat tahun 2012 terjadi 198 konflik agraria, angka ini meningkat dari tahun 2011 yaitu 163 kasus, sedangkan tahun 2010 terjadi 106 kasus.[19]
Periode pemerintahan pasca Soeharto dibaca sebagai kondisi “terjerat neoliberalisme – penjajahan baru. Sebagai akibat dari Washington Konsensus pemerintah mesti melakukan deregulasi, liberalisasi dan privatisasi sebagai salah satu syarat mendapatkan bantuan untuk keluar dari krisis ekonomi. Hal ini kemudian mendorong pemerintah untuk semakin menyerahkan pengelolaan sektor-sektor yang menyangkut hidup rakyat kepada mekanisme pasar, dan salah satunya adalah sektor agraria.[20]
Sempat muncul TAP MPR no IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria, namun tindak lanjut atas hal itu belum jelas. Peraturan bisa dianggap sebagai celah untuk mengangkat kembali wacana reforma agraria, namun masih terdapat beberapa kekurangan. Disisi lain, peraturan baru itu tidak mencantumkan/menyebut UUPA 1960 dan inilah yang seringkali dicurigai, bahwa TAP MPR IX/2001 memunculkan peluang untuk mengamandemen UUPA atau bahkan mencabutnya. Memang jika mengacu kepada tingkatan peraturan perundangan, TAP MPR menempati posisi lebih tinggu dari UU, namun seharusnya di konsideran menimbang, UUPA harus dimasukan dan dikonfrontirkan dengan UU lain yang mengeliminir spiritnya seperti UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. TAP MPR IX/2001 ini juga harus dipandang sebagi produk pertarungan berbagai macam kekuatan politik yang pro maupun yang kontra terhadap ide reforma agraria.[21]
Ketimpangan penguasaan tanah terungkap dalam laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang menyebutkan bahwa , lebih dari 35 persen daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara. Di sisi lain, lebih dari 49 juta hektar hutan Indonesia diserahkan pengelolaannya kepada korporasi: 25 juta hektar IUPHHK Hutan Alam, 9,3 juta hektar untuk HTI, dan 15 juta hektar untuk HGU. Munculnya undang-undang UU nomor 41 tahun 1999 memperlihatkan karakter pemerintah yang tidak pro kepada rakyatnya. UU ini memudahkan korporasi mengusai hutan dan mengeksploitasinya. Dengan UU ini, rakyat yang sudah turun-temurun tinggal di hutan seringkali dianggap sebagai perambah hutan dan digusur. Padahal saat ini ada sekitar 19.000 desa/dusun yang dikategorikan berada di kawasan hutan[22]
Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) sebagai salah satu ambisi Pemerintah Indonesia menjadi lumbung pangan dunia tidak bisa dilepaskan dari pergeseran orientasi kebijakan nasional untuk memproduksi pangan secara besar-besaran. Sangat disayangkan, agenda itu dilakukan dengan mengubah orientasi kebijakan pembangunan sektor pertanian dari yang semula mengandalkan petani kecil menuju industrialisasi pertanian yang mengandalkan investasi pemodal besar. Munculnya UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dipandang sebagai salah satu upaya melindungi kepentingan pengusaha dalam sektor pangan. Pengelolaan tanah dalam skala kecil dipandang tidak efektif, padahal skema itulah yang banyak digunakan petani kecil. Pengelolaan dalam skala besar hanya bisa dilakukan oleh pemodal besar. Program MIFEE ini diperkirakan akan merampas tanah kaum tani seluas 2,8 juta hektar.[23]
Dari uraian sebelumnya itu kita dapat memahami apa yang dirasakan oleh kaum tani Indonesia. Dalam proses sejarah itulah terlihat banyak kebijakan pemerintah yang yang tidak berpihak kepada petani bahkan mengancam keberlangsungan penghidupannya. Ada satu hal menarik yang perlu juga dicatat adalah pendefinisian luas dari petani itu sendiri yang mencakup apa yang biasa dikenal sebagai (1) kaum tani (peasantry), yang dalam kepustakaan biasa disebut tani tak bertanah (landless peasant) dan tani berlahan sempit atau tani gurem (small farmers), maupun (2) masyarakat adat atau suku bangsa minoritas (national minority), dan (3) nelayan. konskuanesinya, keluasan definisi itu menambah potensi rakyat yang bterkena dampak kebijakan pemerintah di sektor agraria. Maka tak heran jika saat ini konflik agraria bukan hanya melibatkan kaum tani, tapi juga masyarakat adat yang menggantungkan kehidupannya dari pengolahan tanah seperti bercocok tanam (pertanian), perkebunan, perladangan menetap maupun berpindah, serta memungut hasil hutan, meramu, dan berburu.[24]
Lalu apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri konflik agraria yang berkepanjangan sekaligus mewujudkan susunan agraria yang lebih adil dan sesuai dengan amanat konstitusi kita? Pertama-tama harus dibangun kesadaran bahwa: ada keharusan untuk melanjutkan agenda redistribusi tanah untuk susunan yang lebih adil. Kedua, tumpang tindih kewenangan dalam pengaturan masalah agraria harus diakhiri. Sejauh mana agenda itu bisa dilaksanakan?
Munculnya gerakan-gerakan yang menuntut reforma agraria bisa dijadikan momentum untuk mendorongpolitical will dari pemerintah untuk melaksanakan amanat UUPA. Mengacu kepada istilah yang dipopulerkan Gunawan Wiradi, ada strategi reforma agraria yang diebut reform by leverage. Strategi ini menempatkan gerakan rakyat sebagai pendorong reforma agraria, namun bukan berarti gerakan rakyat itu adalah faktor utama. Gerakan rakyat ini penting untuk mendorong kemauan pemerintah.
Melihat gerakan-gerakan tani yang ada di Indonesia, meskipun jumlahnya cukup banyak, namun terpisah-pisah baik dalam sekat geografis maupun strategi perjuangan. Beberapa lembaga yang menjadi pendamping bagi serikat-serikat tani itulah yang biasanya menyambungkan antara komunitas satu dengan yang lainnya. Ini terlihat lewat organisasi semacam Serikat Tani Nasional (STN) ataupun Serikat Petani Indonesia (SPI). Mereka mempunyai cabang-cabang di beberapa daerah dan mempunyai jaringan koordinasi sampai tingkat nasional. Fenomena ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kembali mengangkat wacana reforma agraria ke permukaan, menjadi prioritas pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini, institusi-institusi pemerintah, akademisi, kalangan NGO dan tentu saja kelompok-kelompok tani yang pro terhadap ide reforma agraria harus semakin mengkonsolidasikan diri dan membangun kesepahaman.
Permasalahan tumpang tindih kewenangan harus segera diakhiri. Konskuensinya, UU Pertambangan, UU Kehutanan, dan beberapa peratusan lain yang tidak senafas dengan spirit UUPA 1960 harus direvisi. Pada titik inilah terdapat potensi gejolak yang cukup besar. Maka dari itu, sebelum beranjak ke tahap ini, pengkondisian haruslah tuntas. Artinya, aktor-aktor di tiap instisusi sekotoral terkait (misalnya Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kemendagri, BPN, dll) harus sudah terbangun kesadarannya mengenai urgensi reforma agraria. Untuk itu, ada keperluan membentuk lembaga yang mengkordinasi tiap institusi sektoral yang terkait dengan pengaturan mengenai agraria. Wacana menaikan status BPN menjadi Kementerian Agraria yang akan menjadi titik kordinasi antar institusi tersebut tentu harus didukung. Selanjutnya Kementerian Agraria inilah yang diharapkan akan menjalankan program-program teknis terkait reforma agraria, tentu dengan berkoordinasi dengan institusi sektoral terkait. (Pandu Yuhsina Adaba)
Endnote:
[5] Uji konstitusionalitas materi UU Intelijen Negara yang diajukan ke MK oleh Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL); Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Perkumpulan Masyarakat Setara; Aliansi Jurnaslis Independen; Mugiyanto.http://ujiuu.blogspot.com/2012/04/uu-intelijen-harus-berikan-kepastian.html diakses 20 Februari 2013.
[9] Jurnal Pembaruan Tani Edisi 106, Desember 2012. Diterbitkan oleh SPI. hlm 4.
[10] Program REDD ini banyak disebut dengan istilah carbon tradding. Menurut para pendukungnya, program ini bertujuan untuk menyelamatkan kelestarian lingkungan akibat banyaknya hutan yang berubah menjadi lahan sawit. Sumber: Pembaruan Tani . hlm 13.
[11] Salah satu poin dalam Pidato Bung Hatta bulan Februari 1946 berjudul “Ekonomi Indonesia di Masa Depan”. Diambil dari Gunawan Wiradi dalam makalahnya berjudul “Politik Agraria Indonesia Dari Masa ke Masa” yang disampaikan dalam acara Workshop Pertanian YLBHI bertema “Tantangan dan Masa Depan Pertanian” di Cisarua tanggal 2 Mei 2005, hlm 2.
[12] Kebijakan ini dilakukan dengan UU no 13 tahun 1946 tentang Penghapusan Desa Perdikan. Gunawan Wiradi“Politik Agraria Dari Masa Ke Masa, Ibid, hlm 3.
[14] Jurnal Pembaruan Tani Edisi 40, Juni 2007, Diterbitkan oleh SPI, hlm 2.
[15] Peraturan-peraturan ini ditujukan untuk memancing investasi sehingga memberikan kemudahan-kemudahan bagi Investor (terutama asing) untuk mendapatkan hak kelola tanah di Indonesia. Sejalan dengan strategi Orba yang menyamndarkan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi berbasis investasi dan mengharapkan terjadinya Trickle Down Effect.
[17] Kalaupun memang benar bahwa UUPA adalah produk PKI, tetap saja tak ada alasan untuk meninggalkan UUPA sebab substansinya sesuai dengan UUD 1945 terutama pasal 33.
[18] Makalah gunawan Wiradi berjudul “Masalah Agraria; Masalah Penghidupan dan Kedaulatan Bangsa”. Disampaikan dalam Studium Generale Jurusan Sosek Fakultas Pertanian IPB pada tanggl 17 Mei 2004.
[20] Washington Konsesus adalah istilah dari Structural Adjusment Program (SAP) yaitu butir butir kesepakatan yang harus dijalankan pemerintah sebagai upaya mengatasi krisis ekonomi 1997-1998. Sumber: Henry Saragih, “Tidak Ada Ekonomi Kerakyatan Tanpa Reforma Agraria dan Kedaulatan Rakyat”. Makalah dalam diskusi “ Ini Dia Ekonomi Kerakyatan” , dilaksanakan oleh KAU dan SPI, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta 3 Juni 2009. hlm 4.
[21] Dijelaskan bahwa TAP MPR IX/2001 ini merupakan pertarungan kepentingan banyak pihak, yaitu pihak yang pro reforma agraria, pihak yang menginginkan penguasaan tanah berbasis pasar, dan pihak-pihak sisa orde baru. Gunawan Wiradi (2002) “Tantangan Gerakan Reforma Agraria Posta Tap MPR IX/2001” dalam Jurnal Analisis Sosial Vol 7 2002, diterbitkan oleh Akatiga. Hlmn 2-5.